Kejujuran
sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka
dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan
segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten
tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang
berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap
memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah
kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan
tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti
sebuah kejujuran.
UNTUK DIRENUNGKAN: Kisah Kejujuran Dua Bocah Penjual Tissue di Pinggir Jalan
dua manusia super
Siang ini, tanpa
sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil,
kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan
Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan
tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan
siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan
khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa
tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan,
“Terima kasih Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma
mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.
Kaki-kaki
kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang
laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh
keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya,
lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut
kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap
teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya
melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi
tissue putih berbalut plastik transparan.
Setengah jam kemudian
saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan
pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang
seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.
“Terima
kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak
lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh
ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak
mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng,
lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya
yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.
“Oom
boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan
kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya
merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court
sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si
wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan
meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.
Anak ini
terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan
uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang
masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan
uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia
bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!”, namun mereka
berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu,
nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”
Akhirnya uang itu
diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah
episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan
sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om, bisa
tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”
“Eeh
… nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke si
kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni
tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak
meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu
Om, biar ditukar dulu … sebentar.”
“Nggak apa apa, itu buat
kalian” lanjut saya. “Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang
tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga
pasti ikhlas !”, saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya
sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk
segera cepat.
Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik
hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf
..”. Ia memberi saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong
“Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”.
Walau dikembalikan ia tetap menolak.
Saya tatap wajahnya,
perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap
kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya
mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang
receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta
memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka kembali ke
ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi
gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya,
kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….”.
Percakapan itu sayup
sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu
perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan
kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka
berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka
tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta
dengan berdagang tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum balig,
memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah
mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang
untuk kita ambil.
sumber : Mbak Ayu Riska Putry